Rabu, 30 Oktober 2013

wawancara





S. Jai, Pemenang Sayembara Novel Etnografis:
“Saya Hanya Bercerita, Tanpa Bumbu Peri Kemanusiaan”

(Sumber: Majalah Alur, DKS edisi 011/ September 2013)


Novel Kumara, Hikayat Sang Kekasih karya S. Jai memenangi lomba novel etnografis yang diselenggarakan Dewan Kesenian Jawa Timur pada 2013 ini. 

Novel yang bertutur tentang spirit hidup sosok-sosok pribadi masyarakat kecil di pelosok desa di Jawa—tepatnya  di sebuah dusun di Kediri—dalam menghadapi  gerak pergeseran, pergesekan dan perubahan zaman tersebut terpilih sebagai satu-satunya pemenang, oleh juri sastrawan Beni Setia, M Shoim Anwar dan S. Yoga.

Perihal novel terbarunya ini, Jai mengaku tak bicara tentang jargon kemanusiaan atas peristiwa 1965 sebagaimana yang banyak tampil dalam sastra, melainkan, ia bicara tentang fakta. Apa yang dimaksud dengan pernyataannya ini, berikut adalah perbincangan Desemba dari Alur dengan S. Jai seputar gagasannya menulis novel Kumara, Hikayat Sang Kekasih.


          Inspirasi apa yang melatari Anda menulis novel Kumara?

Saya menulis novel ini sebetulnya saya maksudkan sebagai tulisan biografi—riwayat banyak orang. Namun sebagai bentuk sastra, saya menggunakan prespektif (sudut pandang) danyang desa. Saya terinspirasi dari satu istilah dalam buku Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi  Dalam Masyarakat Jawa: Kumara.  Meski banyak sekali menuai kritik dan ditolak, namun buku itu menyimpan kekayaan budaya menjadi sumber ilham yang tak habis-habisnya. Sudut pandang kumara saya gali dari sana.

Maksudnya apa dengan judul novel tersebut?

Kumara adalah wilayah kekuasaan danyang desa. Kumara juga berarti suara yang tiba-tiba muncul dari ketiadaan. Dalam tradisi Hindu, Kumara adalah Sanghyang Kumara, Dewa Pelindung Bayi—salah satu putra Dewa Siwa. Kalau soal maksud dari novel itu, jangan tanyakan saya hari ini. Hehehe...

Ini novel tentang apa sih?

Novel ini bertutur kisah tentang spirit hidup sosok-sosok pribadi masyarakat kecil di pelosok desa di Jawa—tepatnya di sebuah dusun di Kediri—menghadapi  gerak pergeseran, pergesekan dan perubahan zaman.

Sebelum menulis tentu Anda lebih dulu riset. Mengapa tokoh-tokoh Anda ini Anda anggap penting?

Ya. Sebagai karya yang memuat banyak sekali biografi—yang oleh orang Jawa kerap disebut ‘sejarah’ itu—saya banyak sekali menggali tokoh-tokohnya dengan wawancara banyak orang. Mereka adalah para penduduk sekitar Pabrik Gula Ngadirejo dan para mantan buruh yang sebagian besar telah berumur senja, atas kenangannya sekalipun itu getir namun menerima lapang dada pertanyaan-pertanyaan tajam saya.  Mereka adalah orang-orang yang berjibaku dalam pergulatan selaku pribadi-pribadi masyarakat kecil yang keukeuh pada daya budi hasil peradaban Jawa dan yang telanjur diuntai dengan tali secara keliru ke dalam pentahapan mistis yang irrasional. Bukan hanya itu. Bahkan mereka jugalah yang berkumpar pada keteguhannya dengan kultur Jawa rendahan yang mengukuhkan kebudayaannya, yang secara religi dimaknai stupid vainglory dengan istilah Abangan oleh sederet sarjana terkemuka—termasuk oleh Geertz.

Dimana gagasan novel etnografisnya?

Ah, sejujurnya soal itu saya tak pedulikan benar. Mengalir saja.

Kalau demikian lantas dimana gagasan penting Anda dalam novel ini?
Begini. Saya merasa agak beruntung berkenalan dengan karya Umar Kayam, Para Priyayi yang mencoba mengurai kembali gerak lembut tranformasi kaum priyayi ke dalam novel itu.  Dan inilah salah satu yang memantik saya menulis novel Kumara. Sekaligus mengkritiknya. Dari situ, saya mengambil jalan yang lain: maka Kumara dari saya adalah sebentuk pledoi pribadi-pribadi masyarakat kecil dengan kultur Jawa rendahan yang sadar betul bagaimana mempertahankan, betapa berharganya hidup bagi semesta.

Apa tantangan dari gagasan dan jalan lain Anda itu?

Tantanganya ya jelas terkait dengan laku kreatif pengarang. Semisal, sebagai konsekuensi dari ‘jalan lain’ yang saya tempuh ini, saya kumpulkan keberanian memasuki wilayah yang selama ini absen dalam sastra maupun sejarah kita. Atau setidaknya masih kontroversi hingga saat ini. Sejarah kelam 1965, misalnya. Pada novel ini saya tak bicara tentang jargon kemanusiaan atas peristiwa itu sebagaimana yang banyak tampil dalam sastra, apalagi yang berbaris-bergerombol memafhumi pembunuhan sembari bersembunyi, menghibur diri dengan alasan kemanusiaan tersebut.  Melainkan, saya bercerita dan saya memulainya dengan bicara tentang fakta. Tepatnya berpihak pada korban yang tak kuasa menolak menjadi dirinya sendiri, apalagi menjadi diri yang mengutuk pembunuhan itu, atau sembunyi atas nama apapun dari takdirnya.

Dengan kata lain karya-karya Umar Kayam begitu penting bagi penulisan novel Anda ini?

Sebetulnya bukan hanya Umar Kayam. Ahmad Tohari juga. Hanya saja saya tidak tahu yang saya baca yang sudah diedit penerbit atau belum. Tapi apa yang dilakukan Umar Kayam, misalnya, melalui tokoh Sri dalam Sri Sumarah, sesungguhnya telah tumbuh kepeduliannya pada perempuan ‘abangan.’ Namun demikian Umar Kayam tidak melakukan beberapa hal yang saya sebut belakangan tadi itu: tentang kepedulian pada korban dan absennya alasan kemanusiaan—yang kehadirannya justru seringkali untuk menyembunyikan diri karena mengamini pembunuhan. Sebaliknya yang saya lakukan pada Kumara, saya tampilkan bagaimana kekuatan daya budi para perempuan yang tak mau kalah dari kepintaran kaumnya yang telah memilih membiakkan kecerdasannya menjadi anggota Gerwani, atau para pemuda yang menebar benih kritisnya dengan tergabung dalam Pemuda Rakyat. Sekali lagi saya hanya bercerita saja, tanpa begitu banyak saya aduk dengan pengetahuan saya perihal kemanusiaan.

Sebagai karya seni, adakah tokoh-tokoh ciptaan Anda dalam novel ini yang begitu penting dan kuat di alam pikiran pengarangnya?

Tentu semua tokoh saya penting, apalagi buat saya sendiri. Tetapi buat saya pribadi dalam proses kepenulisan novel ini, sebagai sebuah karya yang saya maksudkan selaku biografi, saya berutang budi, pikiran dan hati pada seseorang: Pipit Rochijat—seorang nasionalis Indonesia yang sejak 1972 “mengasingkan diri” ke Berlin Barat—yang dengan sabar berbagi cerita, menyerahkan sebagian pengalaman hidupnya, menjawab surat-surat saya, memasrahkan data, catatan harian serta dokumen-dokumen tua untuk memperkaya pengetahuan saya menulis cerita ini. Bukan hanya itu, bahkan Pipit Rochijat merelakan sebagian kehidupan keluarganya pada tahun-tahun itu saya telisik untuk memperkaya tulisan saya. Bahkan melalui beliau saya mendapatkan transkrip wawancara Arief W Djati—dan oleh sebab itu saya berterimakasih pada intelektual ini—dengan ayahanda Pipit Rochijat,  Kartawidjaya, mantan Direktur PG Ngadirejo seputar peristiwa G-30-S di Kediri. Hanya saja, sebagai sumber dari inpirasi, saya musti berterimakasih kepada banyak orang lagi yang memberikan perjalanan hidupnya itu pada saya.

Bisa diceritakan sedikit kisah novel Anda ini?

Novel ini adalah kisah tentang empat orang anak, tiga diantaranya perempuan, Surat, Suratemi, Markonah dan Marsitun yang ditinggal bapaknya mati muda.  Mereka kemudian hidup dan tumbuh besar oleh doa dan restu dari leluhurnya yang berdiam di punden kampung Mbah Singa Maya dan Mbok Putri Ambar Sari.  Mereka, juga anak turun mereka lalu tumbuh dalam keluarga,  dan lingkungan dalam pelbagai pusaran besar sejarah negeri ini: Peristiwa Jengkol, Kanigoro, G-30-S, sekaligus sebuah kesaksian leluhur Mbah Singa Maya—pelindung seluruh warga dusunnya. Novel ini juga bertutur kisah tentang Pak Karta, direktur Pabrik Gula PG Ngadirejo yang terus diserang dan dibenci kaum komunis, tapi ketika terjadi pembantaian besar, ia menjadi pahlawan yang melindungi para buruhnya yang dituding banyak berafiliasi ke komunis—para anggota Serikat Buruh Gula, organisasi buruh di bawah PKI. Nah, puluhan tahun kemudian, ketika zaman berubah,  novel ini juga mengungkap kehidupan anak turun mereka. Bahwa rasa takut tidak pernah pergi dari hidup mereka.

Terakhir, apa sebetulnya pesan dari novel ini?

Tidak ada pesan. Tapi soal pesan dan kesan itu saya pasrahkan nantinya pada pembaca. Saya hanya bisa katakan, Kumara ditulis saya maksudkan untuk dokumentasi sejarah mental, sekaligus demi rekonsiliasi dalam alam kesadaran bahwa kebudayaan tidak berdiri di atas satu kaki alam pikiran rasional atau alam pikiran mistis saja. Bahwa mitos bisa bermula dari apa saja—tak terkecuali dari pikiran manusia.[]





Biodata

Nama:  S. JAI

Tempat/tanggal lahir:  Kediri, 4 Pebruari 1972 (KTP)
Yang benar lahir di Kediri pada hari Ahad 4 Pebruari 1973

Alamat : Dusun Tanjung Wetan, RT 001 RW 001, Desa Munungrejo, Kecamatan Ngimbang, Lamongan 62273

Riwayat Pendidikan:
SDN Tales I Kec. Ngadiluwih Kab. (1985)
SMPN Ngadiluwih Kab. Kediri (1988)
SMEAN Kediri (1991)
Program Studi Sastra Indonesia FISIP Unair (1998)


Riwayat Pekerjaan:
Reporter Tabloid Oposisi 1998-1999
Reporter Harian Surya 1999-2003
Redaktur Harian Duta Masyarakat (2003-2005)
Staff Center for Religious and Community Studies, Surabaya. (2009-2011)
Staff Women and Youth Development Institute of Indonesia (2011-Sekarang)

Istri:
Mamik Sugiarti

Anak:
Raushan Damir
Kasyful Kanzan Makhfi
Zahra Ulayya Mahjati


KARYA
Tanah Api  (Novel, LkiS 2005)
Tanha,  Kekasih yang Terlupa (Novel, Jogja Media Utama 2011)
GurahYang Tak Sempat Dikubur (Cerbung Surabaya Post)
Khutbah di Bawah Lembah (Novel, Najah 2012)
Malam  (Novel, dalam proses penerbitan digital oleh PT Evolitera)
Berbagi Nikotin (Kumpulan Esai dalam proses penerbitan digital oleh PT Evolitera)
Alibi (Drama)
Upeti (Drama)
Sepotong Cinta dan Senyum Rupiah (Drama)
Racun Tembakau (Drama disaduran)
Pita Buta (Film Dokumenter)
Tirai (novel)
Kumara, Hikayat Sang Kekasih (Novel)

Penghargaan
Pemenang Ketiga Sayembara Cerita Panji Dewan Kesenian Jawa Timur 2010
Terpilih sayembara 10 Cerpen Terbaik Pilihan Festival Seni Surabaya (FSS) 2010
Pemenang Sayembara Novel Etnografis Dewan Kesenian Jawa Timur 2013.